Menyusuri Kehidupan Malam di Sydney

Posted by imam sahal Selasa, 10 November 2009, under | 0 komentar

Selasa, 27 Oktober 2009 | 10:04 WIB

KOMPAS.com — Apakah tampangku memang mesum? Pertanyaan ini kembali mencuat ketika saya berjalan-jalan malam di Sydney, Australia, menjelang Lebaran lalu. Ketika itu, Rabu (16/9) malam, saya bersama rombongan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia baru saja tiba dari Auckland, Selandia Baru.

Setelah makan malam beramai-ramai, kami kembali ke hotel. Tetapi rasanya sayang melewatkan malam begitu saja di sebuah kota yang baru pertama kali saya kunjungi. Bersama rekan sesama wartawan dan seorang musisi dari Bandung, saya berjalan-jalan untuk menikmati malam yang tak sedingin Auckland.

Niatnya memang hanya mau jalan-jalan untuk sekadar mencari oleh-oleh buat anak-istri di rumah. Kami sepakat berjalan kaki saja menyusuri jalan lurus melewati taman kota menuju pusat kehidupan malam di kawasan yang disebut King Cross. Pertimbangannya sederhana saja, di sana tentu ada toko-toko yang buka sampai larut malam. Sebab di tempat lain umumnya toko sudah tutup pukul 17.00.

Meski dikenal sebagai kawasan “lampu merah” (red light), ternyata ruas jalan ini tak seseram yang saya bayangkan. Bahkan, jauh dari kesan kawasan malam Jakarta, seperti Mangga Besar dan Gadjah Mada-Hayam Wuruk.

Di sini memang terlihat beberapa perempuan muda berdandan agak seksi, tetapi tak ada yang berseliweran di jalan menawarkan diri kepada siapa pun yang lewat. Yang ada adalah sekelompok pria berbadan tegap berdiri di depan pintu kecil yang disinari lampu temaram. Rupanya di dalam ruangan di balik pintu itulah tersedia hiburan malam, dari sekadar musik hidup, diskotek, sampai tari telanjang alias striptis.

Nah, para pria berbadan tegap itulah yang selalu memberi tawaran kepada siapa pun yang melintas di trotoar jalan depannya untuk masuk ke dalam. “Silakan masuk saja dulu. Lihat-lihat juga boleh. Kalau tak suka boleh keluar lagi,” kata para pria itu berpromosi.

Tentu saja kami tidak melayani tawaran itu karena niat kami memang hanya sekadar mau cuci mata sekaligus cari oleh-oleh. Kami pun terus berjalan. Tetapi tawaran itu terus datang setiap kali kami melintas di depan tempat hiburan yang jumlahnya belasan.

“Tidak mahal, hanya 50 dollar (sekitar Rp 400.000),” kata pria lain sambil meminta kami melihat dulu ke dalam.

Kami tetap saja berlalu sampai ke sebuah toko kecil yang menjual beraneka ragam suvenir, dari kaus dan baju, tas sekolah, jaket, sepatu, dan aneka gantungan kunci khas Australia.

Pulangnya, kami kembali berjalan kaki menyusuri trotoar sambil menenteng tas belanjaan. Meski begitu, para pria itu toh tetap saja menawari kami masuk ke tempat hiburan.

Satu hal yang membuat saya selalu bertanya-tanya, kenapa sih selalu saya yang mereka pepet dan ditawar-tawari untuk masuk ke tempat hiburan? Padahal, kami berjalan bertiga. Saya sudah berusaha menempatkan diri pada posisi paling luar, tetapi toh saya yang selalu mereka kejar-kejar.

“Soalnya penampilan Anda seperti bos sih,” begitu kata rekan wartawan dari Indonesia itu (postur tubuh saya memang XXL dengan mata sedikit sipit, tetapi kulit tak putih-putih amat). “Atau jangan-jangan mereka melihat tampang Anda yang memang mesum,” timpal rekan musisi dari Bandung yang tak perlu saya sebut namanya itu.

Wah gawat! Jangan-jangan memang benar tampang saya mesum. Soalnya, kejadian seperti ini tak hanya saya alami di Sydney. Di Jakarta pun saya sering mengalaminya.

Di Jakarta

Beberapa tahun lalu, misalnya, saya sering pergi berempat dengan rekan-rekan kantor ke Glodok. Dari kantor biasanya kami naik mobil dan parkir di Ratu Plaza. Dari sana kemudian kami naik bus transjakarta sampai selter Lindeteves dan dilanjutkan berjalan kaki sampai Glodok untuk mencari barang-barang elektronik, jam, atau VCD/DVD lagu dan film. Untuk diketahui, seorang di antara rekan itu adalah pencinta film-film bagus yang sering sudah muncul bajakannya di Glodok.

Nah, dalam perjalanan dari Lindeteves sampai toko langganan rekan saya yang letaknya di bagian belakang Harco Glodok itulah, kami sering ditawari film-film porno. Lagi-lagi, di antara kami biasanya saya yang paling dikejar-kejar!

Pengalaman serupa juga terjadi di sebuah SPBU di Jakarta, tempat saya biasa mengisi bahan bakar. Begitu saya berhenti dan turun dari mobil, biasanya si pedagang VCD/DVD yang mangkal di situ langsung menghampiri dan menyodorkan film-film porno.

Kenapa mesti yang porno? Bukankah yang dijual banyak yang action atau drama? Si pedagang itu pun menjawab enteng, “Siapa tahu bos suka yang begituan.”

Kesal enggak sih kalau digituin? Ha-ha-ha....

One Response to "Menyusuri Kehidupan Malam di Sydney"